DIALEKTOLOGI DIAKRONIS:

SEBUAH PENGANTAR

Penerbit: Gadjah Mada University Press, Yogyakarta                            TahunTerbit: 1995                                                                                    Tebal: xiv + 197 halaman

Buku ini merupakan buku teks pertama yang mencoba merumuskan secara konseptual (teoretis) dan metodologis perihal kajian variasi bahasa. Dalam banyak literatur, nama subbidang linguistik ini umumnya dilabeli "Dialektologi" tanpa embel-embel "diakronis". Asumsi dasar yang dijadikan pegangan dalam mengembangkan disiplin ilmu  Dialektologi Diakronis ini, adalah munculnya variasi dialektal atau subdialektal dalam suatu bahasa tidaklah terjadi secara serentak, melainkan secara bertahap. Munculnya perubahan bunyi proto-Austronesia *b menjadi w dalam bahasa Jawa tidak terjadi karena adanya keinginan yang menggebu-gebu dari para penutur bahasa tersebut untuk bangun pagi-pagi secara serentak mengucapkan bunyi  PAN * b > w, melainkan ada beberapa penutur yang dalam jangka waktu tertentu mengucapkan *b > w, lalu kecenderungan itu menyebar pada penutur-penutur lainnya. Asumsi di atas mengisyaratkan bahwa setiap kajian variasi dialektal yang didasarkan pada pertimbangan sinkronis haruslah mempertimbangkan secara serius tentang mekanisme perubahan secara diakronis. Alasan inilah yang mendasari penulis mengembangkan subdisiplin linguistik dengan nama "Dialektologi Diakronis" dengan kerangka konseptual dan metodologis yang berbeda dengan kerangka konseptual dan metodologis dalam dialektologi yang sudah banyak dikembangkan pakar-pakar terdahulu.

Untuk memberikan gambaran secara jelas bangunan teoretis dan metodologis ihwal dialektologi diakronis, penulis menuangkan dalam delapan bab. Bab pertama, menggambarkan ihwal sejarah kajian ilmu bahasa dan lahirnya kajian dialektologi. Bab kedua, berisi paparan tentang batasan dan jangkauan kajian dialektologi diakronis serta hubungannya dengan ilmu-ilmu lain yang menjadi mitra kerjanya. Bab ketiga Dan keempat, masing-masing paparan teoretis tentang konsep-konsep pendeskripsian perbedaan unsur-unsur kebahasaan dan persoalan pemetaan. Kedua bab ini berhubungan erat dengan dua bab berikutnya, bab V dan bab VI, yang masing-masing berisi paparan teoretis ihwal rekonstruksi bahasa purba dan ihwal inovasi dan relik.  Dua bab yang disebutkan terakhir, dalam praktik penelitian dialektologi diakronis yang sesungguhnya memiliki hubungan pendadaran dengan dua bab sebelumnya. Selanjutnya, bab VII berisi hal-hal yang berhubungan dengan masalah metodologis, dan bab VIII berisi renungan konklusional yang berkaitan dengan prospek kajian dialektologi diakronis terhadap bahasa-bahasa di Indonesia.