BAHASA DAN PROSES INTEGRASI BANGSA

Oleh: Prof. Mahsun

        Adalah suatu kenyataan bahwa suatu masyarakat tidaklah hadir dalam wujud yang homogin, melainkan dalam wujud heterogin. Heteroginitas itu dapat disebabkan oleh faktor sosial dan spasial, sehingga muncullah fragmentasi masyarakat secara  sosial dan spasial. Pragmentasi sosial terjadi sebagai akibat adanya strata sosial dalam masyarakat, yang karena keperluan pembedaan diri antarsatu strata dengan strata yang lain, lalu munculah penanda yang salah satunya berupa penanda kultural dalam ebntuk bahasa. Sebagai contoh,  dalam  komunitas Sasak dikenal ada kelompok bangsawan (menak) dan  kelompok jajarkarang. Kedua kelompok ini, meskipun secara spasial   hidup dalam satu kesatuan daerah teritorial, yaitu daerah teritori penutur bahasa Sasak, namun terdapat ciri-ciri pembeda antarmereka, misalnya strata bangsawan memiliki bentuk tuturan yang berupa bahasa Sasak halus, sedangkan strata Jajarkarang lebih pada penggunaan bahasa Sasak Jamak. Adapun fragmentasi secara spasial, maksudnya perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan kesatuan daerah teritori yang menjadi tempat tinggal suatu komunitas dalam satu masyarakat, misalnya komunitas Sasak Bayan atau Sembalun berbeda dengan dengan komunitas Sasak Ampenan, Cakra. Perbedaan kesatuan daerah teritori itu lalu mengakibatkan perbedaan (pada aspek tertentu) dari ciri-ciri kulturalnya, misal bahasa yang digunakan oleh komunitas Bayan dan Sembalun berciri fonologis: [a-a], misalnya pada kata: apa ‘apa’, mata ‘mata’ dll. sedangkan komunitas Ampenan dan Cakra berciri fonologis [a-e], sehingga untuk kedua kata di atas direfleksikan dalam bentuk: ape ‘apa’ dan mate ‘mata’ dll. 

         Dalam skala nasional, fragmentasi itu dapat digambarkan berikut ini. Secara sosial, masyarakat Indonesia terfragmentasi ke dalam kelas-kelas sosial yang cukup kompleks, misalnya  ada kelas penguasa dan rakyat biasa. Dalam kelas sosial penguasa itu terfragmentasi lagi ke dalam subkelas sosial, begitu pula kelas sosial rakyat biasa terfragmentasi ke dalam sub-subkelas yang lebih kecil. Masing-masing kelas atau subkelas sosial tersebut memiliki identitas yang kadang-kadang menjadi pembeda dengan kelas atau subkelas sosial lainnya. Sebaliknya, secara spasial, masyarakat Indonesia terfragmentasi oleh kepulauan atau gunung. Secara kepulauan, masyarakat Indonesia ada yang tinggal di pulau Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Sumatra, Papua, Kalimantan dan lain-lainnya yang tersebar pada kurang lebih 17000 pulau. Bahkan komunitas yang mendiami pulau tertentu terfraggmentasi lagi ke dalam komunitas yang mendiami bagian wilayah tertentu dalam kepulauan tersebut, seperti ada komunitas yang tinggal di pegunungan, dataran, pantai, bagian barat, utara, timur, selatan dll. Mereka pun memiliki ciri pembeda. Jika berupa etnis yang berbeda, maka akan muncul pembeda kultural yang berupa bahasa yang berbeda, sebaliknya, jika berupa subetnis yang berbeda, maka akan muncul varian kebahasaan yang berbeda sebagai penanda perbedaan tersebut, yang berupa perbedaan dialek atau subdialek.

         Kondisi masyarakat yang heterogin karena terfragmentasi secara sosial dan parsial itu, memunculkan persoalan dalam membangun integrasi sosial dalm wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, persoalan ini dapat diatasi melalui  bahasa kesatuan. Kita dapat membayangkan bagaimana susahnya jika seseorang, yang katakan dibesarkan dengan bahasa ibu bahasa Sasak, datang ke Jawa  lalu ingin meminta tolong karena dia tersesat. Tentu dia akan  mengalami kesulitan. Di sinilah peran bahasa nasional, seperti dinyatakan Mendiknas, pada peringatan Puncak bulan bahasa 9 November 2006, bahwa  bahasa Indonesia memiliki peran yang sangat tinggi dalam mengintegrasikan seluruh komponen bangsa menjadi satu kesatuan yang melahirkan nasionalisme. Menurutnya, nasionalisme  dapat dijabarkan ke dalam nasionalisme spasio-teritorial, sosial, ekonomi, politik, dan kultural. Fragmentasi secara spasio-teritorial membawa dampak secara sosial, ekonomi, politik, dan kultural. Artinya, fragmentasi secara spasio-teritorial mengakibatkan terjadinya fragmentasi secara ekonomi, sosial, politik, dan kultural. Sebagai contoh, nasionalisme ekonomi menuntut adanya pasar bersama. Kiranya, tanpa bahasa Indonesia akan sulit terealisasi nasionalisme ekonomi yang berupa pasar bersama tersebut. Seorang yang lahir di komunitas yang berbahasa ibu bahasa Mbojo, Sasak, Samawa,misalnya hendak berbelanja di Denpasar, Surabaya, Medan, Menado tentu akan mengalami kesulitan jika tanpa ada satu bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia. Contoh lain, nasionalisme politik menghendaki kesatuan politik, yang berupa Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pada itu, landasan hukum NKRI itu diformalkan dalam bahasa Indonesia. Kita patut bersyukur, bahwa para pendiri republik ini dengan sangat cerdiknya telah meletakkan pondasi bagi berdiri tegaknya NKRI, yang salah satu landasan tersebut adalah bahasa Indonesia, seperti tertuang dalam Sumpah Pemuda.

Agak menarik untuk dicermati, mengapa dalam Sumpah pemuda itu untuk landasan yang berupa bahasa Indonesia itu menggunakan landasan berpikir “Menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia”, tidak berpola pikir “menjadikan hanya satu-satunya…”, seperti dalam redaksi sumpah pertama dan kedua: “Berbangsa satu bangsa Indonesia, bertanah air satu tanh air Indonesia”. Jelas sekali redaksi pola pikir yang terakhir disebutkan di atas, menggambarkan bahwa hanya satu bangsa dan tanah air, yaitu Indonesia; sedangkan redaksi pola pikir untuk bahasa tidak menggambarkan hanya satu bahasa, tetapi membenarkan ada bahasa lain selain bahasa Indonesia, yaitu bahasa daerah yang sebagian besar menjadi bahasa Ibu semua etnis yang ada dalam wilayah NKRI. Redaksi pola pikir tentang bahasa persatuan ini, jelas-jelas mengakui hak hidup dan pemeliharaan serta pembinaan terhadap bahasa-bahasa daerah yang jumlah lebih dari 620, di Indonesia.

Dilihat dari urgensinya peran bahasa Indonesia di atas, maka persoalannya mengapa bahasa nasional itu menjadi penting?