DIALEKTOLOGI DIAKRONIS 2
BAHASA SASAK DI PULAU LOMBOK |
Penerbit: Gama Media, Yogyakarta Tahun terbit: April 2006 Tebal: viii + 188 Halaman Buku ini berisi analisis tentang variasi dialektal bahasa Sasak di pulau Lombok. Oleh karena pendekatan yang digunakan dalam analisisnya adalah pendekatan dialektologi dikaronis, maka uraian dalam buku ini tidak hanya memuat deskripsi perbedaan unsur kebahasaan yang ditampilkan secara verbal dan dalam bentuk peta bahasa, penentuan dialek-dialek bahasa Sasak, ciri-ciri linguistik yang membedakan dialek yang satu dengan dialek yang lain, juga dilakukan rekonstruksi (fonologi dan etimon) prabahasa Sasak, yaitu sebuah bahasa purba yang menurunkan dialek-dialek modern bahasa Sasak. Melalui rekonstruksi ini dapat dibuktikan bahwa dialek-dialek bahasa Sasak (secara fonologis tersegmentasi ke dalam empat dialek: dialek a~a, dialek a~e, dialek e~e, dan dialek a~o) tersebut merupakan dialek-dialek yang diturunkan dari sebuah bahasa induk (prabahasa Sasak). Analisis variasi dialektal bahasa Sasak sebelumnya telah dilakukan A Teeuw (1951, 1958), namun penelitian Teeuw tersebut dirasakan kurang memadai, karena data yang dikumpulkan terbatas hanya pada 250 kata dengan menghasilkan peta leksikon sebanyak 78 buah. Jumlah ini belum memadai untuk mendeskripsikan variasi dialektal yang terdapat dalam bahasa Sasak. Bahkan analisis yang cukup menyesatkan ditemukan dalam karya Teeuw tersebut terkait dengan penelusuran daerah pembaharuan bahasa melalui bahasa yang disebutnya bahasa "Sasak Asli". Cukup memyesatkan jika pengidentifikasian bahasa asli serta penelusuran daerah pembaharuan bahasa dilakukan tanpa melalui rekonstruksi bahasa Sasak Purba. Kerumpangan ini diisi oleh Mahsun melalui rekonstruksi bahasa Sasak purba. Melalui rekonstruksi bahasa purba itulah panulis buku ini menjelaskan bahwa secara fonologis, maka dialek yang menggunakan leksikon yang berstruktur a~a, misalnya pada kata: mata 'mata', apa 'apa' dst. sebagai bentuk asli Sasak, sedangkan bentuk-bentuk yang berstruktur a~e, e~e, dan a~o merupakan unsur pembaharuan. Lebih jauh, dalam buku ini dijelaskan bahwa berdasarkan varian fonologi tersebut dapat diketahui bahwa dalam perjalanan historis masyarakat Sasak tersegmentasi ke dalam segmen yang konservatif (varian a~a) dan segmen yang inovatif (varian a~e, e~e, dan a~o). Dari sudut pandang hegemoni, karena masyarakat Sasak merupakan masyarakat yang banyak didatangi oleh etnis lain dalam proses kolonialosasi (Karangasem, Bali abad ke-18), etnis Sasak memperlihatkan bentuk perlawanan kultural dalam dua wujud, yaitu konservatif, mempertahankan bentuk asli, dan inovatif, menerima pengaruh dari komunitas lain konstruksi a~e dan a~o) atau mengubah bentuk yang mendapat pengaruh itu sehingga berbeda dengan bentuk asli atau bentuk yang mempengaruhinya (konstruksi e~e). Buku ini memberi perspektif baru dalam kajian dialektologis.
|