KONDISI LINGKUNGAN SOSBUD YANG KONDUSIF KE ARAH KONFLIK DAN HARMONI

 

Oleh: Prof. Mahsun

1. Pendahuluan

       Hampir sudah menjadi “keharusan” bahwa tatkala kita berbicara masalah lingkungan hidup, maka yang terbersit dalam pikiran kita adalah lingkungan alam yang berupa daratan, lautan atau flaura dan fauna, dan sebagainya, yang pada esensinya mengarah pada konsep lingkungan yang berupa lingkungan fisik. Lingkungan dalam pengertian inilah yang mewarnai wacana kehidupan manusia di jagad raya ini, sehigga tidak mengherankan jika, dalam peringatan hari lingkungan hidup sedunia, berbagai dialog digelar dengan fokus pembicaraan pada lingkungan fisik tersebut. Sebegitu urgennya pembicaraan tentang lingkungan fisik ini, sehingga dipandang bahwa lingkungan fisik inilah yang memiliki pengaruh langsung terhadap perikehidupan manusia. Berbagai perubahan dalam tatanan lingkungan hidup (dalam pengertian fisik itu) dipandang telah menjadi sebab munculnya berbagai persoalan kehidupan, seperti munculnya jenis-jenis penyakit tertentu.   Sebegitu dahsatkah pengaruh lingkungan fisik itu terhadap perikehidupan umat manusia dijagad ini, sehingga pembicaraan ihwal lingkungan yang nonfisik, hampir-hampir terabaikan ? Memang terdapat pembicaraan yang mencoba memanfaatkan pendekatan sosial-budaya, namun pembicaraan itu masih dalam kerangka lingkungan hidup dalam pengertian fisik, seperti munculnya topik-topik dialog: Aspek Sosiokultural dalam Pelestarian Lingkungan Hidup atau Aspek Sosial Keagamaan dalam Pelestarian Lingkungan Hidup dll.

       Namun, kali ini pembicaraan tentang lingkungan hidup akan dicoba fokuskan pada pembicaraan ihwal lingkungan hidup yang nonfisik, karena secara teknis keilmuan hal ini lebih relevan dengan kepakaran yang saya miliki.  Tentunya, dengan berbasis pada tema kegiatan yang disodorkan panitia, saya ingin mengambil alur pembicaraan pada titik tumpu kondisi sosiokultural masyarakat NTB, yang kondusif kearah terciptanya kondisi konflik dan harmoni dalam tatanan hidup ke-NTB-an. Mengapa hal ini saya anggap penting, karena bahwa sampai saat ini sesungguhnya kondisi lingkungan sosial budaya yang terdapat di antara komunitas-komunitas yang membangun NTB (juga komunitas yang menjadi unsur pembentuk negara kesatuan ini) masih dalam proses akulturasi dan adaptasi, belum menemukan satu bentuk lingkungan sosial budaya yang kondusif ke arah harmoni. Bayangkan, apa yang terjadi ketika alam kebebasan berekspresi dibuka begitu luasnya di alam reformasi ini, berbagai gejolak sosial muncul di sana-sini yang hampir-hampir memporakporandakan banguan Indonesia Raya. Itu artinya, kondisi lingkungan (hidup) sosial budaya kita memang belum terbentuk, masih dalam proses.  Mengapa hal ini dapat terjadi, karena sejak fase merealisasikan konsesnsus (fase kemerdekaan) sampai pada fase kepemimpinan sekarang ini, komunitas-komunitas yang memiliki keragaman kultur itu belum berkesempatan untuk merefleksikan keadaan sosiokulturalnya secara apa adanya, karena reduksi SARA menjadi kekuatan yang tidak tampak telah menjadi senjata yang ampuh dalam mengamankan kekuasaan. Akibatnya, antarsatu komunitas dengan komunitas lainnya tidak saling mengenal satu sama lain, yang pada gilirannya, tatkala alam demokrasi mengizinkan ekspresi diri secara bebas terjadilah benturan-benturan yang berbuntut pada munculnya penyakit, yang tidak kalah hebatnya dengan penyakit yang ditimbulkan oleh dampak polusi udara.

         Untuk itu, tulisan ini hendak mencoba mengangkat bahan diskusi pada Peringatan Hari Lingkungan Hidup ini dengan menyoal masalah kondisi lingkungan sosial budaya komunitas NTB dalam membangun masyarakat NTB yang terbebas dari “polusi sosial”. Dalam konteks, ini akan dikemukakan terlebih dahulu beberapa kondisi lingkungan sosial ke-NTB-an yang dipotret dari kondisi-kondisi komunal beberapa etnis besar yang dominan menjadi penduduk wilayah ini, yang lalu pada akhirnya akan dicoba ajukan beberapa argumentasi dalam membangun suatu kondisi sosial budaya yang kondusif ke arah harmoni.

 

2. Potret Kondisi Lingkungan Sosial Budaya Komunitas NTB

       Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu daerah propinsi, yang terdapat di kawasan timur Indonesia, yang memiliki tingkat heteroginitas penduduknya yang sangat tinggi. Dari segi etnis yang mayoritas dan asli yang menjadi penghuni daerah ini paling tidak dapat diidentifikasi ada tiga etnis besar, yaitu etnis Sasak, etnis Samawa (Sumbawa), dan etnis Mbojo. Secara linguistik historis komparatif telah diidentifikasi bahwa etnis Mbojo, yang merupakan penduduk asli di kabupaten Dompu dan Bima (di Pulau Sumbawa), lebih dekat kekerabatannya dengan kelompok etnis yang terdapat di Sumba, Flores, Makassar atau yang dikenal dengan istilah subkeluarga Austronesia Timur, sedangkan dua etnis lainnya: etnis Sasak dan etnis Samawa (yang pertama penghuni pulau Lombok dan yang kedua penghuni pulau Sumbawa bagian barat) memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat, yaitu berasal dari Proto-Sasak-Sumbawa (periksa Mbete, 1990) atau dalam kelompok yang lebih besar, bersama Bali, Jawa dll. masuk subkeluarga Autronesia Barat (periksa Brandes, 1884 dan Dyen, 1965). Selain tiga etnis besar yang merupakan penduduk asli tersebut, terdapat juga etnis Bali yang telah mendiami pulau Lombok beberapa ratus tahun yang lalu, etnis Jawa, Minang, Madura, Sunda, Bugis, Flores dll.

            Kondisi heteroginnya penduduk daerah ini tidak jarang menimbulkan konflik satu sama lain, yang mengarah pada gangguan terhadap tatanan hidup ke-NTB-an antarberbagai segmen sosial yang ada, misalnya meskipun begitu represifnya pemerintahan Orde Baru dalam meredam konflik melalui reduksi Sara, namun di daerah ini masih juga muncul riak-riak konflik internal yang berbau Sara tersebut, misalnya kasus kerusuhan di Kabupaten Bima yang terjadi antarumat Islam dan Kristiani tahun 1970-an, kasus antaretnis Samawa dengan Bali tahun 1980-an, kasus perselisihan historis antara etnis Samawa yang berada di kampung Taliwang, cakranegara dengan etnis Bali yang ada di perkampungan sekitarnya dan yang lebih hangat lagi adalah Tragedi Mataram atau yang dikenal dengan Tragedi Satu Tujuh Satu, yang terjadi antara umat Islam dan Kristiani pada tanggal 17 Januari 2000. Apabila contoh kasus yang ditampilkan di atas lebih memperlihatkan kondisi sosial budaya yang kondusif ke arah konflik antara penduduk asli yang mayoritas dengan pendatang, namun sesungguhnya peluang konflik itu tidak hanya terjadi antarapenduduk asli dengan pendatang yang minoritas saja, tetapi juga konflik dapat saja terjadi antarpenduduk asli yang mayoritas penghuni daerah ini atau antarsub-subetnis yang terdapat dalam satu etnis. Potensi ke arah sana memang ada, hanya saja frekuensinya agak terkendali akibat senjata SARA yang sering dilontarkan semasa Orde Baru  yang cenderung menafikan keberadaan etnis-etnis, golongan, suku, ras dengan upaya mereduksinya menjadi kekuatan yang tidak tampak.

           Fenomena terbentuknya Tim Pengkajian dan Pengembangan Sumbawa (bulan Maret 2000), yang saat ini sedang mengarah pada upaya dua etnis asli dan mayoritas yang ada di pulau Sumbawa hendak memisahkan diri dari etnis Sasak dan membentuk propinsi tersendiri (propinsi Sumbawa) patut menjadi bahan kajian ada apa di balik kehendak tersebut.   Selain potensi-potensi konflik antaretnis, juga di kawasan ini sangat potensial terjadi konflik intraetnis, misalnya konflik historis yang bersifat laten antara subetnis Sasak yang berada di Petemon dan Karang Genteng, Lombok Barat  serta fenomena menjamurnya kelompok keamanan, sejenis Banser, Pam Swakarsanya NU)   pascatragedi Satu Tujuh Satu, di pulau Lombok, yang sampai Maret 2000, telah berdiri tidak kurang dari 26 buah kelompok keamanan   (Data Polda NTB, 2000). Pada awalnya, yang mula-mula muncul adalah Pam Swakarsa yang bernama Amphibi (akronim dari: Amankan Masyarakat, pemerintah, hukum Indonesia berdasarkan Iman) yang didirikan di desa Jerowaru oleh Tuan Guru K.H. Sibawaihi. Dalam waktu yang relatif singkat kelompok Pam Swakarsa ini menjadi besar dan sampai merambah wilayah kekuasaan Tuan Guru lainnya. Akibatnya, terjadi ketersinggungan para Tuan Guru lain yang dirambah daerah kekuasaannya dan lalu membentuk kelompok Pam Swakarsa tandingan, sehingga pada akhirnya mencapai jumlah seperti yang disebutkan di atas. Rupa-rupanya upaya membentuk Pam Swakarsa, tidak hanya sampai pada etnis Sasak, tetapi etnis Bali yang demi keamanannya lalu membentuk Pam Swakarsa sendiri, yang diberi nama Dharmawisesa, begitu pula etnis Samawa membentuk Pam Swakarsa, yang diberi nama Kebo Karong. Kelompok Kebo Karong inilah yang sampai saat ini memberi dukungan terhadap pendudukan kantor DPRD Sumbawa, karena kasus money politics.  

            Dari analisis sepintas atas data kebahasaan yang diperoleh dari penelitian RUT yang dilakukan Mahsun (1997-1999), sebagai hasil sampingan dari tujuan utama dalam penelitian itu, diperoleh gambaran bahwa secara kebahasaan di antara desa-desa yang menjadi sampel penelitian (90 buah desa penutur bahasa Sasak) tidak ada satu desapun yang tidak dipisahkan oleh garis isoglos (garis perbedaan unsur bahasa). Artinya, setiap desa memiliki ciri kebahasaan yang membedakannya dengan ciri kebahasaan di desa lainnya. Suatu pola sebaran bahasa yang sangat rumit, dibandingkan dengan pola dialektal bahasa-bahasa Austronesia Barat lainnya, misalnya bahasa Sumbawa (periksa Mahsun, 1994), Bahasa Bali (periksa Bawa, 1980), bahasa Jawa (periksa Nothofer, 1975 dan 1980) dll.  Itu artinya pula, bahwa jika salah satu fungsi hakiki bahasa adalah alat penanda komunitas, maka dapat dikatakan bahwa etnis ini tersegmentasi dalam berbagai subetnis-subetnis.

          Dari segi kebahasaan pula diperlihatkan bahwa etnis ini tidak memiliki satu varian (dialek) tertentu yang dapat menjadi semacam lingua franca, seperti dalam bahasa Sumbawa, misalnya, dialek Sumbawa Besar, yaitu dialek yang digunakan di pusat kesultanan Sumbawa yang dikenal dan dikuasai oleh penutur dialek lainnya: dialek Jereweh, Taliwang, maupun dialek Tongo; atau bahasa Jawa dialek Solo-Yogya dikenal dan digunakan oleh penutur dialek bahasa Jawa lainnya, yang terimplikasi dalam kosakata bahasa Halus. Adanya dialek yang menjadi kerangka acuan berbahasa baik dalam bahasa Sumbawa mapun  dalam bahasa Jawa yang dicontohkan di atas sebenarnya berterima dengan kenyataan historis tentang adanya sebuah pusat kekuasaan yang memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap beberapa kerajaan kecil di bawahnya. Kesultanan Sumbawa misalnya, menurut sejarah (periksa Mantja, 1984), merupakan pusat pemerintahan yang membawahkan tiga datu, yaitu datu Jereweh, Taliwang, dan Seran, begitu pula tentang berterimanya dialek Solo-Yogya sebagai lingua fraca (sebagai bahasa standar) tidak lepas dari besarnya pengaruh kekuasaan  kerajaan Mataram tempo dulu. Kondisi tentang etnis Sasak yang digambarkan secara lingusitis di atas, menunjukkan bahwa etnis ini terpolarisasi dalam berbagai subetnis, yang tak satupun subetnis yang mendominasi yang lainnya, kecuali etnis Karang Asem (Bali) yang memang datang untuk menguasainya.

          Tiap-tiap subsegmen (subetnis) memiliki ciri-ciri tersendiri sebagai komunitas yang memiliki eksistensi masing-masing, yang ditandai dengan adanya varian tertentu yang mereka gunakan, yang berbeda satu sama lain, meskipun masih dalam lingkup satu bahasa.   Ihwal tersegmentasinya etnis ini ke dalam subsegmen, dimana desa sebagai basis kekuatannya, juga ditunjukkan Teeuw (1951). Menurutnya, pada masa kolonialisasi dulu telah terjadi migrasi penduduk etnis Sasak secara internal, di mana suatu daerah tutur varian bahasa Sasak tertentu dipindahkan ke daerah tutur varian bahasa Sasak lainnya, sehingga membentuk daerah pemukiman penutur yang baru. Antarpenutur daerah pemukiman yang baru dengan penutur daerah pemukiman yang ada sebelumnya tidak terjadi kontak satu sama lain, sehingga pada klimaksnya terbentuklah perkampungan (desa) etnis Sasak yang bersifat tertutup, yang pada gilirannya menjadi benih yang potensial bagi munculnya konflik internal antarsesama mereka. Hal ini sengaja dilakukan dalam rangka kepentingan kolonial Karang Asem (Bali) agar tetap menjadi kekuatan dominan yang mendominasi kerajaan-kerajaan kecil yang ada di pulau Lombok. 

           Memang mernarik apa yang dikemukakan Teeuw di atas, bahwa ternyata dari hasil studi awal yang dilakukan dari aspek kebahasaan, menunjukkan bahwa subetnis Sasak, yang tinggal di Petemon dan Karang Genteng yang sejak dahulu berkonflik tersebut memang menggunakan varian bahasa Sasak yang berbeda. Menurut informasi yang diperoleh dari salah seorang sesepuh etnis Sasak (Bapak Ahmad J.D., komunikasi pribadi) bahwa penghuni Karang Genteng  berasal dari Ketanggor, Ranggagate (Lombok Tengah bagian barat) yang dahulunya adalah keturunan Penujak; sedangkan penghuni di desa Petemon berasal dari Pohgading (Lombok Timur). Dengan demikian, pola migrasi yang mengarah pada pembentukan masyarakat yang terbelah, tertutup merupakan  potensi yang cukup besar bagi terciptanya disekulibrium sosial dalam etnis Sasak. 

 

3. Catatan Penutup

          Dari paparan di atas tergambarlah bahwa betapa kondisi lungkungan sosial budaya NTB belumlah kondusif bagi upaya membangun sebuah masyarakat NTB yang hidup harmonis, sehingga tidak mustahil penyakit sosial akan muncul, yang dampaknya akan jauh lebih hebat dari sekedar penyakit yang ditimbulkan oleh dampak pengrusakan lingkungan fisik.

           Dengan berangkat dari hipotesis, bahwa kondisi lingkungan sosiokultural yang mengarah pada kemungkinan  munculnya “penyakit sosial”, yang berupa disintegrasi sosial,   bersumber pada siapa memiliki akses apa pada sistem pemerintahan wilayah propinsi, kiranya model pembentukan kondisi sosiokultural ala dewan raja-raja yang pernah terwujud dalam konsep “Kamutar” patut menjadi bahan diskusi kita demi menemukan solusi bagi pencegahan berlanjutnya kondisi lingkungan sosiokultural yang mengarah pada disintegrasi sosial. 

 

PUSTAKA ACUAN

Brandes, J.L.A. 1884. Bijdrage tot de Verglijkende Klankleer der Westerse Afdeeling van de Meleische Polynesche Taalfamilie. Utrech. 

Dyen, Isidore. 1965. A Lexicostatistic Classification of the  Austronesian Languages. Indiana University Publications in Anthropology and Linguistics, Memoir 19,  Supplment to the International Journal of American Linguistics.

Mahsun. 1997. “Kajian Variasi Dialektal Bahasa Sasak”. Laporan Kemajuan Pelaksanaan RUT Tahun I.

Mbete, Aron Meko. 1990. “Rekonstruksi Protobahasa Bali-Sasak-Sumbawa”. Jakarta: Disertasi Doktor Universitas Indonesia.

Nothofer, Bernd. 1980. Dialekatlas von Zentral-Java. Wiesbaden: Oto Horrissowitz.

Nothofer, Bernd. 1975. The Reconstruction of Prto-Malayo-Javanic. VKI. S’Gravenhage: Martijnus Nijhoff.