KONTRAK KARYA DAN PELUANG PTNNT UNTUK MELAKUKAN PENYIMPANGAN

Oleh: Prof. Mahsun

        Abdullah, SH.

         Kontrak karya, dalam kacamata hukumnya, merupakan undang-undang yang mengatur dan mengikat segala aktivitas yang dilakukan atau akan dilakukan para pihak yang menandatangani kontrak karya tersebut. Sebegitu pentingnya kedudukan sebuah kontrak karya, maka dalam mengevaluasi apakah para pihak yang berkontrak   melakukan tindakan atau bersikap sesuai atau tidak pada ranah yang dikontrakkan, kontrak karyalah yang akan menjadi barometernya. Namun, tidak selamanya sebuah kontrak karya disusun atas dasar kejujuran yang sejati, karena motivasi-motivasi tertentu, misalnya sengaja mengaburkaan suatu maksud tertentu untuk tujuan tertentu, seperti mencari peluang bagi upaya memanipulasi konsep dan sekaligus penerapan di lapangan.

     Akan halnya dengan PTNNT yang berkontrak dengan pemerintah Indonesia untuk melakukan usaha pertambangan di NTB dapat dievaluasi apakah perusahaan ini memiliki itikad baik atau tidak dalam melakukan usaha itu dengan kontrak karya yang telah disepakati dan ditandatangani bersama sebagai dasar penilaiannya.

      Dalam hubungan dengan hal ini, sebagai contoh, dapat kita telusuri kontrak karya antara Pemerintaah Indonesia dengan PTNNT, yang ditandatangani 1986 lalu dan selalu dirujuk dalam setiap upaya penambangan yang dilakukannya, misalnya untuk melakukan pelepasan atau perluasan wilayah kontrak karya.  Dalam tulisan kami sebelumnya, yang dimuat dalam harian ini (Gaung, 8 Januari 2004) disebutkan bahwa pada pasal 4 tentang Wilayah Kontrak Karya, ayat 1 dinyatakan  mengenai batasan Wilayah kontrak karya, yang mengacu pada wilayah yang terdapat pada pulau Lombok dan Sumbawa (seluas 1.127.134 Ha) dan dirumuskan dalam bentuk koordinat-koordinat dengan 194 buah titik (periksa lampiran A Kontrak Karya); atau wilayah ini dapat berubah karena perluasan  atau pengurangan wilayah yang diatur sesuai persetujuan tersebut (Kontrak Karya). Spirit yang paling mendasar dalam pasal ini adalah memberi penjelasan tentang batas-batas wilayah kontrak karya yang secara matematis ditentukan dalam bentuk koordinat-koordinat dan dapat berubah karena perluasan atau pelepasan wilayah.  Bahwa tata cara dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perluasan dan atau pelepasan/ pengurangan wilayah kontrak karya akan diatur dalam kontrak karya. Namun, nyatanya dari keseluruhan ayat (enam ayat) dalam pasal tersebut dan pasal-pasal selanjutnya tak satupun yang memberi penjelasan secara rinci tentang perluasan wilayah; yang ditemui secara mendetail justeru yang mengatur tentang pelepasan untuk pengurangan   wilayah (ayat 3). Dari keseluruhan pasal dalam kontrak karya, selain pasal 4 ayat 1, kata perluasan hanya ditemukan   pada pasal 16 ayat 2, yang intinya mengenai hak pemerintah untuk melakukan penangguhan atas usulan rencana yang berhubungan dengan rancangan perusahaan tentang: konstruksi, operasi, perluasan, modifikasi, dan penggantian fasilitas-fasilitas pengusahaan yang tidak serasi dan tidak wajar yang dapat merusak lingkungan hidup dan seterusnya. Persoalannya, mengapa masalah perluasan tidak diatur secara rinci sebagaimana mengatur tentang pengurangan melalui pelepasan wilayah ? Padahal pasal 4 ayat 1 sudah mengamanatkan bahwa masalah perluasan merupakan salah satu masalah selain masalah pelepasan yang akan diatur dalam kontrak karya. Persoalan selanjutnya, atas dasar apakah perluasan sebelumnya itu dilakukan, yang apabila didasarkan pada surat Plt. General Manager PTNNT bertanggal 14 Agustus 2003 merupakan perluasan kelima? Itu artinya, sudah empat kali dilakukan perluasan wilayah kontrak karya sebelum surat permohonan rekomendasi itu dilayangkan ke pemerintah daerah kabupaten Sumbawa.

     Untuk yang pertama ada dua kemungkinan alasan yang dapat diajukan, pertama adalah karena unsur keteledoran dan kedua karena unsur kesengajaan. Unsur keteledoran, meskipun itu manusiawi, agak sulit diterima oleh akal sehat jika keteledoran itu terjadi pada sebuah institusi yang berupa negara, apalagi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Sepertinya republik ini kekurangan ahli hukum, sehingga produk hukum yang berupa kontrak karya yang isinya tidak setebal dan sebanyak substansi yang dibahas,misalnya dalam KUHP masih harus kurang dikritisi dan diteliti dengan seksama. Atau mungkin karena yang dibayangkan oleh para pengambil kebijakan yang menandatangani kontrak karya itu bahwa kalau menandatangani kontrak karya dengan perusahaan   pertambangaan, tak perlu diteliti dengan baik, toh itu akan mendatangkan keberuntungan yang berupa perolehan materi dengan tanpa harus bersusah paya, memeras keringat dll.

      Unsur kesengajaan besar kemungkinan terjadi dalam penyusunan kontrak karya PTNNT dengan pemerintah Indonesia. Oleh  karena hanya dengan cara inilah perusahaan dimungkinkan dapat melakukan praktek-praktek pertambangan secara tidak etis, curang, seperti  perluasan terhadap wilayah yang  sudah dilepas karena menghindari pembayaran pajak. Jika, masalah perluasan diatur secara rinci seperti pengaturan masalah pelepasan wilayah, maka sangat dikhawatir akan muncul ayat yang melarang melakukan perluasan terhadap wilayah yang telah dilepas. Di sinilah letak permainan yang sangat cerdik dari PTNNT sebagai perusahaan yang masih belum sepenuhnya dapat melepaskan diri dari karakternya sebagai perusahaan asing yang masih bersifat neoimperialis.

     Dengan tidak diaturnya segala hal yang berhubungan dengan tata cara perluasan dalam kontrak karya, sementara dalam kontrak karya itu sendiri mengamanatkan bahwa masalah perluasan diatur dalam perjanjian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa perluasan yang selama ini dilakukan oleh PTNNT termasuk ke wilayah yang baru-baru ini disetujui pemerintah semestinya tidak dapat didasarkan pada kontrak karya (karena tidak diatur) tetapi pada peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang pertambangan umum. Oleh karena itu ada ketidakjelasan tentang dasar hukum dari pemberian izin perluasan tersebut.  Untuk itu, masyarakat dapat meminta pertanggungjawaban pemerintah dan meminta menghentikan untuk sementara segala aktivitas pertambangan di wilayah perluasan, sampai ada kejelasan dasar hukumnya yang baru. Selanjutnya dengan merujuk pasal 6 ayat 2 jo ayat 4, maka semua wilayah yang telah dilepaskan, sudah tidak berlaku lagi ketentuan-ketentuan yang ada dalam kontrak karya, sehingga apabila ingin diambil kembali harus membuat perjanjian atau kontrak yang baru. Dengan cara  ini maka pemerintah dapat meminta perusahaan dengan kewajiban-kewajiban baru, seperti membangun fasiltas pertambangan yang baru misalnya membangun konsentrator, merekrut tenaga kerja lokal setempat,  membangun fasiltas pengapalan dll., yang karena dengan itu pula segala ihtiar yang dihajatkan melalui usaha pertambangan seperti memajukan usaha lokal, menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru dapat dicapai; dan pada gilirannya diharapakan kesejahteraan masyarakat melalui usaha pertambangan semakin meningkat pula. Dengan demikian, Sumbawa tidak hanya terkenal banyak wilayahnya yang memiliki kandungan mineral (emas, tembaga dll.), tetapi terkenal pula sebagai daerah yang maju karena banyaknya pusat pertumbuhan baru yang muncul sebagai akibat dari usaha pertambangan itu sendiri. Untuk itu, langkah yang baik adalah meminta PTNNT menghentikan usaha pertambangannya pada wilayah selain Batu Hijau yang memang sedang dieksploitasi, atau tetap meneruskan usahanya di tempat-tempat tersebut dengan kontrak yang baru. Tentunya dengan kewajiban-kewajiban yang baru pula, seperti mengharuskan perusahaan itu membangun fasilitas penambangan baru seperti disebutkan di atas. Permintaan untuk melakukan pilihan itu sebenarnya cukup beralasan karena PTNNT sendiri dalam praktek penambangan, dengan mempertahankan beberapa areal di kelima blok yang terdapat di kabupaten Sumbawa (seluas 96,400 Ha) melanggar kontrak karya. Dalam hal ini melanggar pasal 4 ayat 4, yang mengharuskan perusahaan setelah melakukan eksplorasi untuk melakukan pekerjaan di seluruh bagian yang prospektif di dalam wilayah kontrak karya guna mennetukan wilayah-wilayah pertambangan untuk pengembangan selanjutnya selama jangka waktu perjanjian. Namun hal ini tidak diindahkan, buktinya sejak berakhirnya masa eksplorasi yang ditandai dengan ditariknya deposito jaminan 1992, PTNNT tidak melakukan pekerjaan di beberapa tempat prospektif yang berhasil diidentifikasi.  Bahkan ironisnya adalah sampai saat ini PTNNT mengklaim masih melakukan eksplorasi di Dodo-Rinti.

     Apabila PTNNT tidak berkenan dengan cara ini, maka pemerintah dapat menjual ke perusahaan lain, dengan menunjukkan hasil-hasil eksplorasi yang dilaporkan oleh PTNNT sebagai salah satu kewajiban yang diamanatkan dalam kontrak karya. Tentunya, dengan diserahkan pada perusahaan lain maka terdapat beberapa keuntungan bagi pemerintah dan masyarakat sebagai berikut: (a) perusahaan baru itu jelas-jelas akan membangun fasilitas penambangan yang baru bagi keperluan operasinya dan hal ini tentunya akan dapat membuka lapangan kerja baru, pusat-pusat pertumbuhan baru dll.; (b) akan muncul suasana kompetitif antara perusahaan-perusahaan tersebut tidak hanya dalam hal memperhatikan keberadaan masyarakat lokal melalui program pengembangan masyarakatnya, tetapi juga dalam hal memperhatikan nasib pekerjanya sendiri. Bayangkan bagaimana nasib para pekerja PTNNT yang rela keluar dari Camp-nya hanya untuk mendapat sedikit dana bagi membantu keluarganya, membangun pondasi atau memperbaiki rumah, namun mereka kehilangan hak untuk mendapat konsumsi sebagaimana layaknya ketika mereka masih tinggal di Camp. Sebagian besar para pekerja pendatang, mereka mengontrak kamar yang kurang layak, yang oleh orang lokal disebut sebagai Bara Bedus, yang berarti kandang kambing, makan seadanya dll.;(c) tidak merusak kawasan hutan seperti upaya merebut kawasan Tatar-Sepang bagi keperluan pembangunan jalan akses dari Batu Hijau ke Dodo-Rinti serta lainnya.

     Akhirnya, dengan memperhatikan praktek penambangan yang dilakukan PTNNT yang cenderung keluar dari koridor kontrak karya yang telah disepakati dan ditandatangani bersama tersebut sebaiknya segera disiasati dengan meminta perusahaan untuk: (1) berhenti dari segala aktivitas pertambangan selain di Batu Hijau sampai PTNNT memiliki landasan hukum yang baru bagi kegiatan tersebut, dan (2) masyarakat dan pemerintah Kabupaten Sumbawa segera memanggil perusahaan untuk meminta penjelasan dan   pertanggungjawaan atas segala aktivitas pertambangan di areal perluasan dengan menggunakan bahasa-bahasa yang digunakan dalam kontrak karya, bukan bahasa yang bombastis seperti yang sering dilontarkan Manger Community Relation akhir-akhir ini. Karena sampai saat ini di Dodo-Rinti sedangkan dilakukan eksplorasi, padahal eksplorasi di kawasan itu telah dilakukan lebih awal (1986). Bukankah periode eksplorasi memiliki batas waktu hanya 3 tahun.