KONSEP EKSPLORASI PTNNT MENYESATKAN DAN TIDAK MENCERAHKAN

Oleh: Prof. Mahsun* – Abdullah, S.H.**

          Mungkin masih tersisa dalam  ingatan kita tentang polemik seputar “pembelian” kawasan hutan lindung yang cukup melelahkan dan menyesatkan itu, yang tiba-tiba redup hanya karena sebuah pernyataan sosok orang yang bernama Robert Humberson, mantan Senior Manager External Relation PTNNT bulan Oktober lalu. Kita khususnya Tau Samawa perlu bertanya pada diri kita masing-masing, mengapa pada hal yang paling prinsip kita diam, namun pada hal yang kurang prinsip begitu getol mengkritisinya, seperti salah satu butir pernyataan General Manager Operation PTNNT: Phill Brumit, beberapa waktu lalu (14/11/2003) pada acara silaturrahmi dan buka puasa bersama di Hotel Cenderawasih, Sumbawa Besar. Pada kesempatan itu Phill Brumit di antaranya menyatakan bahwa PTNNT telah memdapat izin pemerintah Indonesia untuk melakukan eksplorasi di Dodo dan Rinti pada hutan produksi, bukan hutan lindung dan eksplorasi itu akan memakan waktu bertahun-tahun, seperti Batu Hijau yang memakan waktu sebelas tahun (Harian Umum Gaung, 15 Novermber 2003).

           Yang menarik dari salah satu butir pernyataan itu adalah bagian yang menunjuk contoh eksplorasi yang bertahun-tahun itu adalah proyek Batu hijau yang dilakukan selama sebelas tahun. Mungkin sebelum mengkritisi hal itu patut diketahui bahwa angka sebelas tahun itu diperoleh dengan mengurangi tahun mulai dilaksanakannya periode konstruksi 1997 dengan periode ditandatanganinya kontrak karya 1986, karena pada mulai 1997 s.d. akhir 1999 dilakukan periode konstruksi dan tidak mungkin diisi dengan kegiatan yang seharusnya dilakukan pada periode studi kelayakan.  Apa yang patut dipertanyakan dari isi pernyataan itu pertama adalah, jika lama dilakukannya eksplorasi proyek Batu Hijau itu 11 tahun maka di mana letak pelaksanaan periode: Penyelidikan Umum, Periode eksplorasi, dan Periode Studi Kelayakan, yang harus dilewati sebelum pelaksanaan periode Konstruksi seperti yang tercantum dalam kontrak karya. Kedua, jika waktu sebelas tahun itu benar, maka sesungguhnya PTNNT telah melakukan tindakan yang tidak terpuji dalam tiga hal: (a) melanggar kontrak karya pasal 6 ayat 3, yang menentukan batas waktu periode eksplorasi     36 bulan yang dimulai segera setelah berakhirnya periode penyelidikan umum; (b) memanipulasi informasi dengan mencampuraduk secara konseptual periode penyelidikan umum, periode eksplorasi, dan periode studi kelayakan yang dibedakan dalam kontrak karya menjadi satu kegiatan yaitu kegiatan eksplorasi saja; (c) dalam hubungan dengan butir (b) PTNNT telah melakukan kegiatan pertambangan dengan sesuka hatinya dan tanpa mengindahkan periodesasi yang disepakati dalam kontrak karya.

              Mengapa PTNNT perlu melakukan manipulasi informasi dengan mencampuraduk secara konseptual periode penyelidikan umum, periode eksplorasi, dan periode studi kelayakan yang dibedakan dalam kontrak karya menjadi satu kegiatan yaitu kegiatan eksplorasi tersebut ? Ada beberapa kemungkinan alasan untuk itu, pertama, sejak beredar informasi tentang kehendak PTNNT melakukan perluasan ke beberapa wilayah timur Sumbawa, masyarakat meresponnya dengan bentuk penolakan, karena perluasan mengandung makna di samping akan menghabiskan potensi SDA yang akan diwariskan ke anak cucu Tau Samawa, juga perluasan berarti akan mengakibatkan terjadinya proses perusakan dan penyempitan wilayah yang memiliki hutan lebat. Itu sebabnya, dalam pernyataan Phill Brumit tersebut memberi penekanan pada eksplorasi tidak akan merusak hutan karena pengeboran hanya diperlukan lahan seluas 20x20m dan apalagi saat ini PTNNT dikatakan telah memiliki satu alat eksplorasi yang canggih yang dapat mendeteksi keberadaan kandungan mineral dengan tanpa harus mengebor bumi. Kedua, ancar-ancar waktu yang panjang bagi kegiatan eksplorasi serta eksplorasi tidak harus mengakibatkan akan diteruskan pada tahapan eksploitasi, karena dapat saja lokasi itu tidak akan dijadikan areal penambangan karena secara ekonomis kurang menguntungkan,  senganja dihembuskan untuk membangun opini dan meredam tolakan sosial yang muncul dari rencana tersebut. Sembari dengan itu, PTNNT memiliki peluang untuk melakukan lobi-lobi bagi upaya: memuluskan jalan mendapat izin bagi pembangunan jalan akses dari Batu Hijau ke wilayah Dodo-Rinti melalui pemanfaatan sebagian lahan yang telah dikukuhkan pemerintah sebagai kawasan suaka alam dan sebagian lagi oleh KSDA dicanangkan sebagai wilayah konservasi (Tatar-Sepang), serta memuluskan jalan bagi upaya memperoleh izin melakukan penambangan di areal hutan lindung dengan terlebih dahulu mengubah statusnya menjadi hutan produksi. Untuk maksud yang pertama, adalah riskan secara ekonomis melakukan ekploitasi di wilayah Dodo-Rinti, meskipun kandungan mineralnya lebih prospektif jika jalan akses dari Batu Hijau ke sana tidak ada. Bukankah PTNNT tidak berkehendak membangun konsentrator lagi, karena apa yang dimilikinya merupakan konsentrator terbesar di dunia dan membangun kembali di tempat lain bearti kurang menguntungkan secara ekonomis. Itu sebabnya bagi keperluan tersebut PTNNT rela melepaskan sebagian kawasan dalam konsesi Kontrak Karya yang tidak prospektif untuk dijadikan kawasan konservasi di Tatar Sepang. Bahkan perusahaan itu bersedia membantu pemerintah dalam hal itu. Adapun maksud yang kedua, PTNNT ingin mengulangi pengalaman melobi pemerintah sehubungan dengan proyek Batu Hijau dan menerapkannya di kawasan lain yang sedang diusulkan untuk mendapat perizinan perluasan, termasuk di sebagian Dodo-Rinti yang masih banyak hutan lindungnya. Kawasan Batu Hijau sebelumnya merupakan kawasan hutan lindung dengan sumber air yang sangat besar. Untuk dapat melakukan kegiatan eksploitasi di Batu Hijau, maka terlebih dahulu status hutan lindung harus diubah menjadi hutan produksi dan inilah jalan yang ditempuh dengan menggeser lokasi hutan lindung ke sebelah utara kawasan Batu Hijau sekarang. Jadi sesungguhnya, lamanya masa eksplorasi berlangsung di Batu Hijau seperti diklaim oleh Phill Brumit, bukan faktor pelaksanaan kegiatan eksplorasi itu sendiri melainkan lama menunggu izin melakukan penambangan di hutan lindung dengan terlebih dahulu mengubah statusnya menjadi hutan produksi melalui keputusan menteri kehutanan. Menurut informasi dari sumber yang dapat dipercaya masa eskplorasi sebenarnya sudah berakhir 1992 karena “Deposito Jaminan” telah ditarik semuanya oleh PTNNT pada tahun tersebut. Adapun penarikan Deposito Jaminan dilakukan pada tahun itu untuk menghindari lewatnya dan sesuai dengan batas waktu 6 tahun seperti disebutkan dalam kontrak karya pasal 7 ayat 5 butir (iii/b). Dengan demikian, semua tindakan yang dilakukan sebagai refleksi dari upaya PTNNT memanipulasi informasi dengan mencampuraduk secara konseptual periode penyelidikan umum, periode eksplorasi, dan periode studi Kelayakan  tersebut serta menyebarluaskannya untuk membangun opini masyarakat merupakan tindakan yang menyesatkan dan tidak dapat mencerahkan masyarakat Sumbawa. Dari sini kita mulai dapat mempertanyakan di mana itikad baik PTNNT bagi pengembangan masyarakat serta pelestarian lingkungan alam (khususnya kawasan hutan Sumbawa).

          Melemahnya tuntutan para pemimpin wilayah ini terhadap sepak terjang PTNNT tersebut, yang salah satunya ditandai oleh tidak lagi munculnya kritikan terhadap pernyataan salah seorang petinggi PTNNT padahal isi pernyataan itu merupakan suatu hal yang sangat prinsip, menambah lagi yang akan semakin memperkuatkan keyakinan kita bahwa pemerintah dan para legislator kita tidak faham akan kehadiran PTNNT di daerah yang berada dalam kekuasaannya. Lalu apa yang sebenarnya dipikirkan oleh para pemimpin kita itu ? Kami jadi terenyuh, ketika membuka hasil kopi kontrak karya PTNNT yang diberikan oleh salah seorang sahabat kami,   melihat butir-butir yang dilingkar dan ditandai dengan melipat-lipat halamannya adalah halaman-halaman yang menyangkut pasal 13: Pajak-Pajak dan Lain-lain Kewajiban Keuangan Perusahaan. Kami heran mengapa upaya memahami kontrak karya yang menjadi roh munculnya PTNNT di Tana Samawa, hanya dilihat sepotong-sepotong saja ? itu pun hanya bagian yang menyangkut finansial. Hati kecil kami berkata, jika penyakit ini terjangkit pula pada para legislator (DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Sumbawa) serta pemerintah kita, betapa persoalan “uang” telah membuat kita   menjadi kurang cerdas, kurang kritis, rendah diri, dan memiliki ketergantungan yang tinggi; sehingga pernyataan Pill Brumit lepas dari kritikan kita, tidak seramai kritikan ketika isu “kehendak PTNNT membeli Kawasan Suaka Alam” digulirkan. Atau mungkin karena ketakutan akan munculnya kembali pernyataan Humberson jilid kedua.



* Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kemasyarakatan dan Kemanusiaan

** Ketua Dewan Pengurus Samawa senter