PEMBENTUKAN SISTEM TINGKAT TUTUR DALAM BAHASA SASAK

Dan Kaitannya Dengan Cara Pandang Masyarakat Penuturnya

            Apabila dalam karya linguistik yang umum kita temui, pembahasaan ihwal sistem tingkat tutur lebih terfokus pada pembahasan kemaknaan yang terdapat pada unsur leksikal dari kata-kata tersebut, yang lalu dikaitkan dengan fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat pemiliknya, maka kali ini pembahasannya menjadi lebih menarik, karena masalah kemaknaan menjadi unsur yang tidak terlalu signifikan dan dominan untuk dibicarakan, tetapi yang lebih diutamakan adalah sistem pembentukannya.

         

          Perilaku yang memberikan penghargaan yang lebih tinggi pada sesuatu  yang datang dari luar, kurang percaya diri, atau perasaan  rendah diri  merupakan hasil bentukan historis, khususnya kolonialisasi. Untuk menjelaskan hal itu, tinjauan secara historis patut dikemukakan, dalam hal ini yang berkaitan dengan sistem kolonialisasi yang terjadi terhadap etnis Samawa (Sumbawa) dan etnis Sasak, yang nota bene kedua etnis ini secara linguistis merupakan etnis-etnis yang berasal dari sebuah nenek moyang yang sama yaitu Proto - Sasak-Sumbawa. Seharusnya, kedua etnis ini memiliki watak dasar yang sama, namun karena faktor kolonialisasi yang berbeda, sebagai faktor eksternal yang juga berperan dalam pembentukan watak sebuah komunitas (baik secara individual maupun berkelompok), telah membuat kedua etnis yang seasal ini menjadi etnis yang secara psikologis berbeda. Etnis Sasak dikuasai oleh kerajaan yang datang dari Barat (Bali), sedangkan Etnis Samawa dikuasai oleh kerajaan yang datang dari arah timur (kerajaan Bugis). Kedua etnis “Penjajah” ini memiliki cara yang berbeda dalam penaklukannya. Apabila Kerajaan Bugis, kolonialisasi yang dilakukannya lebih terkait dengan siar Islam, sehingga persyaratan pengakuan akan ketaklukan didasarkan pada kemauan/ penerimaan etnis yang tertakluk itu akan agama yang dibawa (Sultan Sumbawa hanya diminta mengucapkan Dua Kalimah Syahadat dan semua adat istiadat setempat tidak dirusak), maka Kerajaan Karang Asem, persyaratan pengakuan ketaklukan didasarkan pada kesediaan raja yang tertakluk menerima segala bentuk adat istiadat yang dibawa Sang Kolonial, termasuk dalam sistem stratifikasi sosial yang dimarkahi dengan bahasa, yang semulanya tidak dikenal masyarakat Sasak. Singkatnya, kolonialisasi terhadap Etnis Sasak oleh Kerajaan dari Bali benar-benar membuat etnis tersebut tercerabut dari akar budayanya. Ketercerabutan dari akar budaya tersebut juga terlihat pada segmentasi secara geografis (dialektal) etnis Sasak atas etnis yang bertutur dengan pola struktur a-a, a-e, dan e-e, masing-masing pada contoh: mata ~ mate ~ mete ‘mata’, mama ~ mame ~ meme ‘suami’, apa ~ ape ~ epe ‘apa’ dll. Bentuk yang bestruktur a-e merupakan bentuk pengaruh dari bahasa Bali (melalui kolonialisasi Karang Asem) yang daerah sebarnya meliputi sebagian besar pulau Lombok mulai dari arah Barat ke Timur, sedangkan bentuk yang berstruktur a-a merupakan unsur asli dalam bahasa Sasak yang penuturnya masih tersisa pada beberapa wilayah pencilan (pegunungan) dan sebagian kecil di Lombok Timur. Adapun bentuk yang berstruktur e-e merupakan bentuk inovasi dengan memanfaatkan bentuk berstruktur a-e melalui asimilasi regresif dan daerah pakainya tersebar di sekitar Selaparang. Secara historis bentuk-bentuk itu diturunkan sebagai: a-a > a-e > e-e.

           Bukti lain, yang berkaitan dengan sikap memberi penghargaan yang lebih pada yang datang dari luar, misalnya tampak pula dalam tatanan hubungan perkawinan. Apabila seorang bangsawan  (kelompok Menak) kawin  dengan orang yang nonbangsawan (bukan Menak), maka orang tersebut akan menanggalkan derajad kebangsawanan. Tentu patut dicatat, bahwa hal ini terjadi, jika perkawinan masih dalam lingkup etnis yang sama (etnis Sasak). Kondisi budaya ini dikenal dengan istilah  Teteh/ Neneteh yang dikontraskan dengan konsep Negak, yaitu pemberian derajad kebangsawanan pada kelompok non Menak, yang berasal dari orang di luar etnis Sasak, yang kawin dengan seorang lelaki keturunan Menak.

              Fenomena kolonialisasi kultural di atas yang secara ekstrim telah tercermin dalam salah satu unsur budaya (bahasa) etnis ini akan sangat menarik jika dilihat dari motivasi munculnya segmentasi kebahasaan (tentu juga masyarakatnya) atas tiga segmen: a-a, a-e, dan e-e. Segmen masyarakat yang bertutur dengan pola struktur a-a dan e-e memiliki motivasi yang sama, yaitu menginginkan identitas diri etnis ini yang tidak sama dengan identitas etnis Karang Asem. Apabila segmen yang bertutur dengan pola struktur a-a lebih mengarah pada upaya pemertahanan bentuk yang asli Sasak, dan ini tercermin dari tidak dikenalnya sistem tingkat tutur oleh segmen penutur dialek ini (misalnya penutur yang terdapat di Sembalun tidak mengenal kosa kata halus); maka segmen yang bertutur dengan pola e-e justeru identitas dirinya ditunjukkan dengan upaya melakukan inovasi (internal) terhadap bentuk yang telah mendapat pengaruh dari bahasa Bali tersebut. Penutur pada segmen masyarakat Sasak ini tidak sepenuhnya menerima pengaruh dari Bali dan sikap itu ditunjukkan melalui upaya mengubah bentuk yang telah mendapat pengaruh itu menjadi bentuk yang tidak persis sama. Hal ini bersejajar pula dengan kenyataan pada sebagian kecil anggota masyarakat pada segmen ini (terutama) kelompok Menak yang mengenal dan menggunakan kosa kata halus dalam berbahasa. Bebeda halnya dengan segmen masyarakat yang menggunakan pola struktur a-e yang sebagian besar mengenal dan menggunakan kosa kata halus.

            Apa yang menarik dari fenomena di atas ialah munculnya segmen-segmen sosial tertentu dalam etnis ini yang berupaya meredefinisi diri dengan melakukan penampakan identitas kultural yang berbeda dengan kultur etnis pendatang (kolonial). Sikap ini pula tercermin dalam perilaku budaya lainnya, misalnya dalam penampakan identitas keagamaan melalui pembangunan sarana ibadah yang jumlahnya sangat membengkak, sehingga pulau ini dikenal dengan “Pulau Seribu Mesjid” sebagai imbangan dari kondisi bermunculannya sarana ibadah berupa Pura  pada hampir setiap rumah pemeluk agama Hindu (penutur bahasa Bali) yang datang ke pulau ini.